Sabtu, 28 Juli 2012

Windows 8: The end of the full retail version?


Windows 8 start screen
The Windows 8 start screen.
(Credit: Screenshot by Lance Whitney/CNET)
There's a rumor going around that, with Windows 8, Microsoft is doing away with the full version of Windows sold at retail.
If this pans out -- and so far, I have heard it from only one source (as I noted on the Windows Weekly podcast with my co-host Paul Thurrot this week) -- I doubt there will be anyone lining up in protest.
In Microsoft parlance, a full product typically means a non-upgrade, fully licensed version of Windows sold in a box via brick-and-mortar and/or online retailers. With Windows, full product tends to be quite expensive -- and not very popular, as most users get their Windows either preloaded on new PCs, via volume-licensing deals, or as an upgrade to an existing version of Windows. Very few users want or need a complete, new copy of Windows for a machine on which Windows has not been previously installed.
With Windows 8, Microsoft is being aggressive with upgrade pricing. Anyone with a copy of Windows XP, Windows Vista, Windows 7 or the Windows 8 Release Preview (with some caveats for Windows 8) will be able to buy up to five copies of Windows 8 Professional for $39.99 apiece through January 31, 2013. (And maybe longer, if Microsoft extends this promotional price.)

Those who typically have wanted and needed full Windows product -- among them, do-it-yourself PC assemblers -- will now be able to buy a system builder license for Windows 8. Microsoft officials have said the DIY crowd and those installing Windows 8 in a virtual machine or separate partition will be able to purchase a Windows 8 Pro System Builder version. There's no official word so far on the price of that SKU.
There's a bit of confusion among some system builders because hints regarding the new do-it-yourself (DIY) system builder license for Windows 8 seem to imply that those purchasing Windows 8 this way will only be able to obtain five copies per system builder for commercial use. For smaller PC makers, sometimes called white-box vendors, this limit is impractical. This limit also could hit companies whose IT departments may want to build their own custom PC systems.
Microsoft representatives are not commenting on anything to do with Windows 8 packaging, pricing, licensing, and distribution plans beyond what they have disclosed publicly already.
The company did say this week that Windows 8 is on track to be released to manufacturing (RTM) by the first week of August. It will be generally available by late October 2012, officials added.
Update: It looks like this rumor is likely true. One of my contacts forwarded me a system builder licensing document that includes this clause:
"The majority of consumers buying the retail license are looking to upgrade. For Windows 8, Microsoft will therefore only offer an upgrade version of Windows 8 through the retail channel. This is the license an end user would purchase who wants to upgrade their current PC from a prior version of Windows to Windows 8."

Spesifikasi Harga iPad 2 Terbaru



Model :

- Wi-Fi

- Wi-Fi + 3G




Ukuran :

- Tinggi: 9,50 inch (241,2 mm)

- Lebar: 7,31 inch (185,7 mm)

- Ketebalan: 0,34 inch (8,8 mm)

- Berat: 1,33 pounds (601 g) Wi-Fi, 1.34 pounds (607 g) 3G



Storage :

- 16GB

- 32GB


- 64GB



Konektivitas :

- Wi-Fi (802.11a/b/g/n)

- Bluetooth 2.1 + EDR technology

- Wi-Fi + 3G model: UMTS/HSDPA/HSUPA (850, 900, 1900, 2100 MHz); GSM/EDGE (850, 900, 1800, 1900 MHz)

- Wi-Fi + 3G for Verizon model: CDMA EV-DO Rev. A (800, 1900 MHz)



Layar :

- 9,7 inch (diagonal) LED-backlit glossy widescreen Multi-Touch display with IPS technology


- 1024-by-768-pixel resolution at 132 pixels per inch (ppi)

- Fingerprint-resistant oleophobic coating

- Support for display of multiple languages and characters simultaneously



Chip :

- 1GHz dual-core Apple A5 custom-designed, high-performance, low-power system-on-a-chip



Kamera, Foto dan Video Recording :

- Kamera Belakang (resolusi belum disebutkan) : Video recording, HD (720p) up to 30 frames per second with audio; still camera with 5x digital zoom

- Kamera Depan: Video recording, VGA up to 30 frames per second with audio; VGA-quality still camera


- Photo and video geotagging over Wi-Fi



Baterai :

- Wi-Fi

- Built-in 25-watt-hour rechargeable lithium-polymer battery

- Sampai 10 jam akses web di Wi-Fi, lihat video, atau mendengar musik

- Charging via power adapter or USB to computer system



3G :

- Built-in 25-watt-hour rechargeable lithium-polymer battery


- Sampai 10 jam akses web di Wi-Fi, lihat video, atau mendengar musik

- Sampai 9 jam akses web memakai jaringan data 3G

- Charging via power adapter or USB to computer system



Input/Output :

- 30-pin dock connector port

- 3.5-mm stereo headphone minijack

- Built-in speaker

- Microphone


- Micro-SIM card tray (Wi-Fi + 3G model)



Sensor :

- Three-axis gyro

- Accelerometer

- Ambient light sensor



Location :

- Wi-Fi

- Digital compass


- Assisted GPS (3G only)

- Cellular (3G only)



Audio Playback :

- Frequency response: 20Hz to 20,000Hz

- Audio formats supported: HE-AAC (V1 and V2), AAC (8 to 320 Kbps), Protected AAC (from iTunes Store), MP3 (8 to 320 Kbps), MP3 VBR, Audible (formats 2, 3, and 4, Audible Enhanced Audio, AAX, and AAX+), Apple Lossless, AIFF, and WAV

- User-configurable maximum volume limit

- Dolby Digital 5.1 surround sound pass-through with Apple Digital AV Adapter (sold separately)



TV & Video :


- Video mirroring and video out support: Up to 1080p with Apple Digital AV Adapter or Apple VGA Adapter (cables sold separately)

- Video out support at 576p and 480p with Apple Component AV Cable; 576i and 480i with Apple Composite AV Cable

- Video formats supported: H.264 video up to 720p, 30 frames per second, Main Profile level 3.1 with AAC-LC audio up to 160 Kbps, 48kHz, stereo audio in .m4v, .mp4, and .mov file formats; MPEG-4 video, up to 2.5 Mbps, 640 by 480 pixels, 30 frames per second, Simple Profile with AAC-LC audio up to 160 Kbps per channel, 48kHz, stereo audio in .m4v, .mp4, and .mov file formats; Motion JPEG (M-JPEG) up to 35 Mbps, 1280 by 720 pixels, 30 frames per second, audio in ulaw, PCM stereo audio in .avi file format


wah gimana spesifikasinya?.Nah itu dia sedikit info dari saya buat teman teman yang mau beli iPad 2 Terbaru.Terima Kasih sudah berkunjung.

Spesifikasi Dan Harga Samsung Galaxy Tab 2 10.1

Berikut ini adalah spesifikasi dan harga Samsung Galaxy Tab 2 10.1 yang Aku Jalan Terus hadirkan khusus untuk rekan pengunjung. Silahkan di baca spesifikasi dan harga Samsung Galaxy Tab 2 10.1 berikut ini.

Jika bicara generasi kedua dari sebuah produk secara alamiah kita mengharapkan sesuatu lebih baik, bahwa produk baru ini membawa hal baru, apapun itu! Juga lebih tipis, ramping, lebih cepat, lebih awet baterenya, yang semua fitur itu efeknya membuat kita berdecak kagum kemudian bersiul.

Begitupun kehadiran Samsung Galaxy Tab 2 ini, ia menawarkan spesifikasi hampir identik dengan pendahuluanya, termasuk sebuah layar 10 inc, dengan display 1280x800 PLS, prosessor 1GHz TI, dan RAM sebesar 1GB dan penyimpanan internal minimum 16GB.

Samsung Galaxy Tab 2
Desain

Samsung Galaxy Tab 2 10.1 sedikit lebih besar dibanding Tab 1 dan sedikit kurang ramping. Kedua seri ini menyajikan bahan plastik sama dibagian belakang, namun perbedaan terletak pada warna dimana kamu akan temui warna perak titanium berseberangan dengan warna putih.

Jika di tangan terasa nyaman, namun juga terasa lebar dan membuat canggung ketika mengetik dan menahan tombol touch secara bersamaan.

Kamera

Galaxy Tab 2 10.1 menghadirkan besaran kamera 2MP di bagian depan dan 3 MP dibagian belakang, terdapat dukungan LED. Dan tidak terdapat opsi HDMI, sehingga kamu harus membeli aksesoris tambahan jika ingin menghubungkannya dengan sebuah pesawat TV.

Fitur

Tab 2 10.1 merupakan tablet Samsung kedua, setelah Tab 2 7.0 yang hadir dengan OS Ice Cream Sandwich (tepatnya Android 4.0.3) terinstall.

Dan Samsung TouchWiz UX skin juga disematkan pada tablet ini dan tersedia pula aplikasi Samsung seperti Media Hub, Music Hub dan Game Hub, applikasi screenshot built-in dan sebuah Mini Apps berlokasi di bagian bawah layar.

Samsung Tab 2 10.1 memiliki prosesor 1GHz dual-core OMAP 4430 CPU, 1GB RAM, dan penyimpanan internal 16GB. Tablet ini juga menyediakan 802.11 b/g/n Wi-Fi support, Bluetooth 3.0, termasuk juga GPS berserta gyroscope, accelerometer, dan dukungan digital compass.

Samsung Galaxy Tab 2 10.1 menggunakan tech panel PLS serupa seperti Tab 10.1, dengan resolusi 1.280x800 piksel, dan layar 10inc.

Harga Samsung Galaxy Tab 2 10.1 adalah Rp4.900.000 - Rp5.000.000.

Selasa, 24 Juli 2012

Pelajaran Berharga Dari Imam Bukhari

Nama Imam Bukhari bukanlah nama yang asing bagi kita. Seorang ulama ahli hadits yang mendapat julukan Amirul Mukminin fil Hadits. Para ulama pun menyatakan bahwa kitabnya Shahih Bukhari adalah kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an. Kemudian, setelah itu diikuti oleh kitab muridnya, yaitu kitab Shahih karya Imam Muslim. Semoga Allah merahmati mereka berdua.

 

Meskipun demikian, itu bukan berarti perjalanan hidup Sang Imam mulus begitu saja. Ada saja terpaan fitnah yang melanda beliau, bersama dengan kemuliaan dan kebesaran yang beliau miliki. Tatkala fitnah tentang aqidah/keyakinan bahwa al-Qur’an makhluk telah disalahalamatkan kepada beliau oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal, keyakinan al-Qur’an makhluk merupakan keyakinan sekte sesat yang amat terkenal di masa itu, yaitu Jahmiyah!

Pengantar Sebelum Menyimak Kisah Beliau

al-Qur’an adalah kalam/ucapan Allah. Ini sudah jelas. Akan tetapi, bolehkah kita katakan bahwa pelafalan al-Qur’an itu makhluk, atau bukan makhluk, atau harus diam dalam persoalan ini?!

 

Jawaban yang lebih tepat, memberikan hukum umum dalam permasalahan ini, yaitu dengan serta merta menolak atau menerima pernyataan ‘pelafalan al-Qur’an adalah makhluk’ adalah tidak tepat. Sebab hal ini harus dirinci terlebih dahulu. Jika yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah perbuatan (fi’il) mengucapkannya yang hal itu termasuk perbuatan hamba maka jelas ini adalah makhluk. Karena hamba beserta perbuatannya adalah makhluk. Namun, apabila yang dimaksud dengan pelafalan itu adalah ucapan yang dilafalkan (maf’ul) maka itu adalah kalam/ucapan Allah dan bukan makhluk. Karena kalam Allah merupakan salah satu sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya bukan makhluk.

Perincian semacam ini telah diisyaratkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan,“Barangsiapa yang berpendapat bahwa lafalku dalam membaca al-Qur’an adalah makhluk dan yang dia maksud dengannya adalah al-Qur’an maka dia adalah penganut paham Jahmiyah.”Perkataan Imam Ahmad ‘dan yang dia maksud adalah al-Qur’an’ menunjukkan bahwa apabila yang dia maksudkan bukanlah al-Qur’an akan tetapi perbuatan melafalkan yang ini merupakan perbuatan manusia, maka orang yang mengucapkannya tidak bisa dicap sebagai penganut paham Jahmiyah.

(Diambil dari Fathu Rabbil Bariyyah hal. 70 cet. Dar Ibnul Jauzi).

Fitnah Yang Menimpa Sang Imam

 

Pada tahun 205 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelisnya Imam Bukhari.

Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur’an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”

 

Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh  Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab,“al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.

Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”

Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar  meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan,“Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya, lalu beliau berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajarrahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”

Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”

 

Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata,“Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab,“Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.”

(Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659)

 

Abdullah anak Imam Ahmad berkata: Aku pernah bertanya kepada ayahku rahimahullah. Aku berkata, “Apa pendapatmu mengenai orang yang mengatakan bahwa tilawah adalah makhluk dan lafal kita dengan al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk? Apa pendapatmu tentang sikap menjauhi orang seperti ini? Apakah dia layak disebut sebagai ahli bid’ah?”. Beliau menjawab, “Orang semacam ini semestinya dijauhi. Itu adalah ucapan ahli bid’ah. Dan itu merupakan perkataan kaum Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 178). Abdullah juga mengatakan, “Aku mendengar ayahku rahimahullah berkata: Barangsiapa yang mengatakan bahwa lafalku dengan al-Qur’an adalah makhluk maka dia adalah penganut Jahmiyah.” (lihat as-Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, no. 180)

Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dilAbdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata, “Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.” (lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191).

Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan ini dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata, “Apabila mereka berdua meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.” (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633 risalah magister karya Abu Abdirrahman Muhammad ats-Tsani)

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa jarh/celaan dari sebagian ulama yang ditujukan kepada Imam Bukhari tidak bisa diterima. Imam Ahmad  rahimahullah berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan yang lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.” (lihatDhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/634)

Pelajaran Yang Bisa Dipetik

 

Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim maupun muslimah untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan. Karena aqidah inilah yang menjadi landasan agama kita. Hendaknya setiap muslim memahami hakikat keimanan dan tauhid yang menjadi intisari aqidah Islam.   Jangan sampai seorang muslim -apalagi penimba ilmu atau bahkan da’i- meremehkan masalah aqidah ini. Masalah aqidah adalah masalah yang sangat penting dan mendasar.

Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan manusia. Hendaklah kita menjadi orang yang berusaha untuk senantiasa mencari ridha Allah, bukan mengejar ridha manusia. Orang arab mengatakan, “Ridha manusia adalah cita-cita yang tak akan pernah tercapai.” Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa ikhlas itu adalah melupakan pandangan manusia dengan senantiasa melihat kepada penilaian al-Khaliq, yaitu Allah.

Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa. Kewajiban kita sebagai sesama muslim adalah menjaga kehormatan dan harga diri saudara kita, apalagi mereka adalah orang yang memiliki kedudukan dan keutamaan di mata publik.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau menimbulkan kerancuan bisa menimbulkan suasana yang kurang harmonis, kekacauan, dan bahkan permusuhan yang tidak pada tempatnya.

Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka yang suka membuat masalah. Oleh sebab itu seorang guru harus objektif dan berhati-hati dalam menerima berita dari muridnya. Demikian pula, seorang murid juga tidak boleh sembarangan dalam menafsirkan perkataan gurunya tanpa meminta kejelasan terhadap ungkapan yang diduga bisa memicu permasalahan. Apalagi di dalam situasi fitnah (kekacauan), hendaknya seorang murid fokus kepada tugasnya yaitu belajar dan tidak disibukkan dengan qila wa qola (kabar burung) dan pembicaraan yang kurang bermanfaat baginya.

Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Jarh wa ta’dil tidak seperti kacang goreng yang bisa dibeli dengan harga murah oleh siapa saja. Jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat mulia. Ilmu yang membutuhkan pemahaman yang mendalam, ketelitian, dan kehati-hatian. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini. Jarh wa ta’dil juga memiliki kaidah dan batasan-batasan yang harus diperhatikan. Memang, memperingatkan dari kemungkaran adalah suatu kebaikan yang sangat besar. Akan tetapi mengingkari kemungkaran pun ada kaidahnya, tidak boleh secara serampangan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena banyak permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah karena sifat yang tercela ini. Oleh sebab itu ada suatu ungkapan yang populer di kalangan para ulama Jarh wa Ta’dil : Kalamul aqraan yuthwa wa laa yurwa, artinya:“Kritikan antara orang-orang yang sejajar kedudukannya cukup dilipat -tidak diperhatikan- dan tidak diriwayatkan.” Karena terkadang kritikan yang muncul diantara sesama mereka adalah karena faktor hasad. Kita berlindung kepada Allah dari sifat yang demikian itu.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa. Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.

Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula seorang penimba ilmu. Bahkan, setiap orang yang beriman pasti mendapatkan ujian dari Allah yang menuntut mereka untuk bersabar tatkala mendapatkan musibah dan bersyukur tatkala mendapatkan kenikmatan.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka menyadari bahwasanya tugas mereka sebagai ulama adalah mendakwahkan ilmu dan membimbing umat menuju kebaikan. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi. Ulama sejati tidak takut celaan para pencela dan tidak khawatir apabila ditinggalkan jama’ah, selama dia tegak di atas kebenaran.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Oleh sebab itu para ulama salaf sangat keras dalam mengingkari para pelaku kebid’ahan. Sebagian diantara mereka mengatakan, “Bid’ah itu lebih dicintai Iblis daripada maksiat. Karena pelaku maksiat masih mungkin untuk bertaubat, sedangkan bid’ah hampir tidak mungkin pelakunya bertaubat.” Sebab pelaku kebid’ahan menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan. Berbeda dengan pelaku maksiat yang masih mengakui bahwa dirinya memang telah berbuat maksiat.

Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh dalam membela kebenaran dan memerangi kebatilan walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di dalam pandangan kita. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan. Sebagian ulama salaf berpesan,“Hendaknya kamu mengikuti jalan kebenaran. Janganlah kamu merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuhnya. Dan jauhilah jalan-jalan kebatilan. Dan janganlah kamu merasa gentar karena banyaknya orang yang binasa.”

Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Ulama adalah pewaris para nabi. Kita harus memuliakan dan menghormati mereka dengan tidak berlebih-lebihan di dalamnya. Di sisi lain, kita juga harus ingat bahwa ulama bukanlah nabi yang semua ucapannya harus diikuti. Meskipun demikian, kita tidak boleh meremehkan, melecehkan, atau bahkan menjelek-jelekkan mereka. Apabila kebenaran yang mereka sampaikan -yaitu berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah- maka wajib untuk diikuti. Namun, apabila sebaliknya maka tidak kita ikuti dengan  bersangka baik dan tetap menghargai jerih payah mereka. Imam Syafi’i rahimahullahberpesan kepada para pengikutnya, “Apabila kamu temukan di dalam bukuku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah/tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”

Hukum Makan Ketika Adzan Shubuh

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.
Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]
Hadits ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadits yang telah disebutkan di atas?
Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Shubuh
Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muadzin biasa mengumandangkan sebelum waktunya. Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat shubuh. Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang adzan. Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah.[2]
Pemahaman Hadits
Adapun pemahaman hadits Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini.
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah.
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,
“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadits lainnya yang semakna)
Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan,
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
Sampai muadzin mengumandangkan adzan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi. Kemudian Al Baihaqi katakan, “Jika hadits tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa adzan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah adzan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh. Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadits tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah adzan kedua. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar adzan pertama. Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”. Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya adzan shubuh. Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]
Catatan: Adzan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Adzan pertama  untuk membangunkan shalat malam. Adzan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Adzan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar adzan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Jika mendengar adzan shubuh dan ia yakin bahwa muadzin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muadzin mengumandangkan adzan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar. Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika adzan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh. Hal ini karena mengamalkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muadzin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin. Jika makan saat dikumandangkan adzan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.
Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Minggu, 22 Juli 2012

Qunut Witir

Definisi Qunut
Secara etimologi, qunut bermakna banyak. Ada lebih dari sepuluh makna sebagaimana nukilan Al-Hâfizh Ibnu Hajar, dari Al-Iraqy, dan Ibnul Araby.
Makna-makna tersebut adalah: 1) Doa, 2) Khusyu’, 3) Ibadah, 4) Taat, 5) Pelaksanaan ketaatan, 6) Penetapan ibadah kepada Allah, 7) Diam, 8) Shalat, 9) Berdiri, 10) Lama berdiri, dan 11) Kontinu  dalam ketaatan.[1]
Adapun secara terminologi, qunut bermakna seperti yang disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajr Al-Asqalâny rahimahullâh, “Doa dalam shalat pada tempat khusus dalam keadaan berdiri.”[2]
Makna secara terminologi inilah yang diinginkan oleh para ulama fiqih dan kebanyakan ulama lain dalam buku-buku mereka.[3]

Syariat Qunut
Syariat tentang qunut dalam shalat Witir telah sah sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,

عَلَّمَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافَنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Rasulullah mengajarkan beberapa kalimat kepadaku untuk saya ucapkan dalam shalat Witir, (yakni) Ya Allah, berilah hidayah kepadaku pada orang-orang yang Engkau beri hidayah, berilah afiyah kepadaku pada orang yang Engkau beri afiyah, naungilah aku pada orang-orang yang Engkau naungi, berkahilah aku pada apa yang Engkau beri, dan jagalah aku dari kejelekan putusan-Mu. Sesungguhnya Engkau memutuskan dan tidak diputuskan terhadap-Mu, dan sesungguhnya tidaklah hina, orang-orang yang Engkau naungi. Maha Berkah Engkau, wahai Rabb kami, dan Maha Tinggi.’.” [4]
Dibangun di atas hadits ini, orang-orang Hanafiyah, Hanbaliyah, dan sebagian orang-orang Syâfi’iyah berpendapat akan kesunnahan qunut Witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan. Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Hasan, Ibrâhim An-Nakha’iy, dan Ishâq.
Adapun Imam Malik, beliau tidak berpendapat tentang keberadaan qunut Witir.
Adapun Imam Asy-Syâfi’iy, beliau berpendapat bahwa qunut Witir disyariatkan pada pertengahan Ramadhan.
Tarjih
Tentunya bahwa tidak diragukan lagi akan kesunnahan qunut Witir berdasarkan hadits Al-Hasan bin ‘Ali tersebut sehingga tidak ada alasan bagi orang yang melarang pelaksanaannya. Adapun pelaksanaan qunut Witir dari pertengahan Ramadhan, hal tersebut hanyalah diriwayatkan dalam hadits yang lemah. Wallâhu A’lam.[5]

Waktu Pelaksanaan Qunut saat Shalat[6]
Qunut dapat dilaksanakan sebelum atau setelah ruku’. Akan tetapi, pelaksanaannya setelah ruku’ lebih banyak dilakukan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Al-Baihaqy rahimahullâh berkata, “Rawi-rawi, (dalam) hadits yang berisi penjelasan tentang qunut setelah ruku’, lebih banyak dan hafalannya lebih bisa dipegang. Oleh karena itu, riwayat mereka yang lebih pantas dipakai. Demikian pula, (hadits tentang) pelaksanaan qunut pada zaman Khulafâ` Ar-Râsyidîn radhiyallâhu ‘anhum, yang terdapat pada riwayat-riwayat masyhur dari mereka dan riwayat-riwayat ini, jumlahnya paling banyak.”[7]
Adapun pelaksanaan qunut sebelum ruku’, dalilnya diterangkan dalam beberapa hadits, yang di antaranya adalah hadits Anas bin Mâlik bahwa beliau berkata,
بَعَثَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ فَقَتَلُوْهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan. Mereka itu disebut sebagai pembaca-pembaca Al-Qur`ân. Mereka kemudian dihadang oleh dua suku Bani Sulaim: Ri’il dan Dzakwan. Kedua suku ini membunuh mereka, maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan untuk mereka selama sebulan pada shalat Shubuh. Hal ini merupakan permulaan keberadaan qunut, (padahal) kami tidak pernah berqunut sebelumnya.” ‘Abdul ‘Azîz -murid Anas- berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Anas tentang qunut tersebut, ‘Apakah dilakukan setelah ruku’ atau ketika selesai membaca surah (sebelum ruku’)?’ (Maka Anas) menjawab, Tidak. (Yang benar adalah) ketika selesai membaca surah.’.”[8]
Juga hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Sesungguhnya Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berqunut sebelum ruku’.” [9]
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa ada keleluasaan dalam hal ini. Barangsiapa yang ingin berqunut sebelum ruku’, hal itu adalah perkara yang boleh, dan barangsiapa yang ingin berqunut setelah ruku’, tidak ada dosa apapun atasnya.
Pendapat tentang kebolehan memilih salah satu dari dua cara berqunut juga diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Anas bin Malik, Imam Ayyub As-Sikhtiyany, dan Imam Ahmad. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Qiyâm Ramadhân hal. 31, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/64-65, dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ahli fiqih dari kalangan ahli hadits, seperti Ahmad dan selainnya, membolehkan kedua perkara (tentang cara berqunut), karena sunnah yang shahih datang untuk menjelaskan keduanya, walaupun mereka memilih qunut setelah (ruku’) karena lebih banyaknya (dalil tentang hal tersebut,-pent) dan lebih (mendekati) qiyas ….”[10]

Tentang Mengangkat Tangan Ketika Berqunut
Yang lebih kuat di antara pendapat para ulama dalam pembahasan ini adalah bahwa tidak ada pensyariatan tentang mengangkat tangan dalam qunut. Ini merupakan pendapat Yazîd bin Abi Maryam, Imam Al-Auzâ’iy, Abu Hanîfah, dan Imam Mâlik.[11]
Pendapat ini dikuatkan karena tidak ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berqunut.
Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama, yang berpendapat tentang pensyariatan hal mengangkat tangan dalam qunut, adalah hadits-hadits yang lemah. Dalil mereka yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur Sulaimân bin Al-Mughîrah, dari Tsâbit Al-Bunâny, dari Anas bin Mâlik, tentang kisah para pembaca Al-Qur`ân yang terbunuh. Disebutkan bahwa Anas berkata kepada Tsâbit,
فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ رَفَعَ يَدَيْهَ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
“Setiap kali mengerjakan shalat Shubuh, sesungguhnya saya melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya untuk mendoakan kejelekan atas mereka (pembunuh para pembaca Al-Qur`ân).” [12]
Namun, hadits ini lemah karena terdapat dua cacat di dalamnya:
  1. Sulaiman bin Mughirah. Beliau adalah seorang rawi yang tsîqah, tetapi beliau telah menyelisihi Hammâd bin Salamah yang meriwayatkan hadits ini dari Tsâbit, dari Anas, dan, dalam riwayatnya, Hammad tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya.[13] Hammad bin Salamah ini adalah rawi yang paling kuat riwayat haditsnya dari Tsâbit sebagaimana perkataan Imam Yahyâ bin Ma’in, Abu Hâtim, dan selainnya, “Siapa saja yang menyelisihi Hammâd dalam periwayatan hadits dari Tsâbit, yang didahulukan adalah periwayatan Hammâd.” Bahkan, dalam At-Tamyîz, Imam Muslim menukil kesepakatan ahli ‘ilalul hadits (pakar cacat-cacat hadits) bahwa Hammâd adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit.[14]
  2. Murid-murid Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, seperti Qatâdah, Muhammad bin Sîrîn, ‘Abdul ‘Azîz bin Shuhaib, Abu Qilâbah, Ishâq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, Abu Mijlaz, ‘Âshim, Musâ bin Anas, Humaid At-Thawîl, Dâud bin Abi Hind, Hanzhalah bin ‘Abdillah, Abu Makhlad, Marwân Al-Ashfar, dan Ibnu Muhâjir, semuanya meriwayatkan hadits yang semakna dari Anas bin Mâlik tentang pelaksanaan qunut, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut.[15] Seluruh hal ini mempertegas kesalahan Sulaimân bin Al-Mughîrah dalam periwayatannya yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. Syaikhunâ Muqbil bin Hadi rahimahullâh juga termasuk ulama yang melemahkan hadits ini. Wallâhu A’lam.

Tentang Mengaminkan Doa Qunut bagi Makmum
Syariat akan hal ini telah tetap dalam hadits Ibnu ‘Abbâs. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudâmah dalam ucapannya, “Apabila imam berqunut, (doa qunutnya) hendaknya diaminkan oleh orang yang (bermakmum) di belakang imam, dan kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam pembahasan ini.”[16]

Kesalahan dalam Hal Mengaminkan
Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengaminan hanyalah diucapkan pada lafazh-lafazh doa, bukan pada lafazh pujian. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan dibenarkan oleh Imam Al-Hiraqy dan An-Nawawy.[17]
Berdasarkan keterangan ini, tampaklah kesalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat umum yang mengaminkan seluruh doa qunut hingga lafazh-lafazh pujian dalam qunut.
Yang dimaksud dengan lafazh-lafazh doa ialah bermula dari kalimat اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ (allâhummah dinâ fî man hadait) hingga وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ (wa qinâ syarra mâ qadhait), sedangkan kalimat setelahفَإِنَّكَ تَقْضِيْ  (fainnaka taqdhî) dan seterusnya adalah lafazh-lafazh pujian.

Etika Imam dalam Doa Qunut
Hendaknya pula imam berdoa dengan lafazh umum (bukan untuk pribadinya) sehingga, ketika mengaminkan doa imam, makmum juga mengambil andil dari doa tersebut. Hal ini ditegaskan demikian karena dua perkara:
Pertama, firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimâs salam,
قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا
“Sesungguhnya doa kalian berdua telah dikabulkan.” [Yunus: 89]
Kalau memperhatikan ayat sebelumnya, kita akan mengetahui bahwa ternyata yang berdoa hanyalah Nabi Musa ,
رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ. قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا
“Wahai Rabb kami, sirnakanlah harta mereka dan keraskanlah hati mereka. Tidaklah mereka beriman sampai mereka melihat adzab yang sangat pedih.” [Yunus: 88]
Bersamaan dengan ini, Allah menjadikan doa itu untuk mereka berdua. Hal ini karena Nabi Musa berdoa, sementara Nabi Harun mendengarkan dan mengaminkan doa tersebut.[18]
Kedua, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Yang tampak bagi saya bahwa hikmah pelaksanaan doa qunut pada saat i’tidâl, bukan pada saat sujud, padahal sujud merupakan momen pengabulan doa sebagaimana (keterangan) yang telah pasti (dari Rabb-nya ketika seseorang sujud) juga (padahal) kebenaran perintah untuk berdoa dalam sujud telah pasti, adalah bahwa yang diinginkan dari qunut nazilah ini adalah agar makmum berserikat bersama imam dalam doa, walaupun hanya mengaminkan.”[19]

Tentang Mengusap Wajah Setelah Berqunut
Imam Abu Dâud berkata, “Saya mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya (sendiri) dengan kedua tangannya (sendiri) bila selesai berqunut, maka beliau menjawab, ‘Saya tidak mendengar tentang itu.’ Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, ‘Saya tidak mendengar suatu (riwayat) apapun tentang hal tersebut.’.” Kemudian, (Abu Dâud) berkata, “Dan saya tidak melihat Ahmad mengerjakan hal itu.”[20]
Imam Malik ditanya tentang seseorang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya sendiri ketika berdoa, maka beliau mengingkari perbuatan tersebut sembari berkata, “Saya tidak mengetahui hal itu.”[21]
Imam Al-Baihaqy berkata, “Adapun tentang mengusap kedua tangan ke wajah selepas doa, tidaklah saya menghafal (hal tersebut) dari seorang pun, dari para ulama salaf, pada doa qunut.”[22]
Demikian pula simpulan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/53-56. Baca jugalah Irwâ`ul Ghalîl 2/178-181.


[1] Juga ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthuby 2/1022, Mufradât Al-Qur`ân hal. 428 karya Al-Ashbahâny, dan lain-lain.
[2] Bacalah Fathul Bâry 2/490.
[3] Lihatlah Zâdul Ma’ad 1/283 karya Ibnul Qayyim.
[4] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq 3/117, Ibnu Abi Syaibah 2/95, Ahmad 1/220, Ibnul Jârûd no. 272, Ad-Dârimy 1/451-452, Abu Dâud no. 1425, An-Nasâ`iy 3/248, Ibnu Mâjah no. 1178, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahd wal Matsâni no. 415-416, Al-Bazzar no. 1336, 1337, Abu Ya’la no. 6762, 6786, Ibnu Khuzaimah no. 1095, 1096, Ibnu Hibban no. 945, Al-Hâkim 3/188, Ath-Thabarâny 3/no. 2701-2707, 2711-2713 dan dalam Al-Ausath 4/no. 3887, Al-Baihaqy 2/209, serta Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/264, 9/321. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam banyak buku beliau, dan Syaikh Muqbil dalam, Al-Jâmi’Ash-Shahîh 2/161.
[5] Bacalah pembahasan syariat qunut dalam Al-Muhgny 2/580, Bidâyatul Mujtahid 1/204, dan Nailul Authâr.
[6] Tentang pembahasan ini, bacalah Al-Majmu’ 2/510, 520 karya Imam An-Nawawy dan Fathul Bâry 6/270-277 karya Ibnu Rajab.
[7] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 2/208.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4088.
[9] Diriwayatkan oleh An Nasâ`i 3/235, Ibnu Mâjah no. 1182, Ad-Dâraquthny 2/31, dan Al-Baihaqy 3/39-40. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny rahimahullâh dalam Irwâ`ul Ghalîl no. 426.
[10] Bacalah Majmu’ Fatâwâ 23/100. Lihat jugalah Al-Inshâf 2/170.
[11] Lihatlah Al-Mughni 1/448 dan Al-Majmu’ 3/487.
[12] Diriwayatkan oleh Ahmad 3/137, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Muntakhab hal. 380 no. 1276, Ath-Thabarâny 4/51/3606, dalam Al-Ausath 4/131/3793, dan dalam Ash-Shaghîr 1/323-324/536, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/123-124, Al-Baihaqy 2/211, serta Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 11/440.
[13] Lihatlah riwayat Hammâd dalam Shahîh Muslim 3/1511 no. 677, Musnad Ahmad 3/270, dan Ath-Thabaqât 3/515 karya Ibnu Sa’d.
[14] Bacalah Syarh ‘Ilal At-Tirmidzy 2/790 (cet. Maktabah Al-Manar) dan lain-lain.
[15] Lihatlah riwayat-riwayat mereka pada Shahîh Al-Bukhâry, Shahîh Muslim, dan lain-lain (kami sengaja tidak menyebutkan takhrîj-nya untuk menyingkat pembahasan).
[16] Bacalah Al-Mughny 1/449.
[17] Lihatlah Su`alât Abi Dâud hal. 67 dan Al Majmu’ 3/481 karya An-Nawawy.
[18] Lihatlah Asy-Syarh Al-Mumti’ 3/86 karya Syaikh Shâlih Al-Utsaimîn dan Majmu’ Fatâwâ 23/116-119 karya Ibnu Taimiyah.
[19] Bacalah Fathul Bâry 2/491.
[20] Dari Masâ`il Abi Dâud hal. 71.
[21] Bacalah Mukhtashar Qiyâmul Lail hal. 327 karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy.
[22] Bacalah As-Sunan Al-Kubrâ` 2/212.

Pembayaran Kaffarah

Siapa yang Berkewajiban untuk Membayar Kaffarah?
Kaffarah puasa adalah denda yang dikenakan atas seseorang karena tiga perkara:

  1. Berhubungan suami istri (jima’).
  2. Melakukan hubungan tersebut pada siang hari Ramadhan. Adapun, jika melakukannya pada malam hari Ramadhan atau di luar Ramadhan, seperti saat membayar tunggakan puasa Ramadhannya, ia tidaklah dikenakan kaffarah.
  3. Dalam keadaan berpuasa. Adapun, jika seseorang berhubungan saat Rama­dhan dan dalam keadaan tidak berpuasa, seperti seseorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa, lalu mendapati istrinya usai mandi suci terhadap haidh kemudian keduanya berhubungan, keadaan seperti ini tidaklah dikenakan kaffarah.

Apakah Istri juga Membayar Kaffarah ?
Menurut pendapat terkuat dari kalangan ulama, kaffarah juga dikenakan atas sang istri jika ia mengajak, atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri, untuk berhubu­ngan intim.

Ketentuan Pembayaran Kaffarah
Pembayaran kaffarah seseorang adalah dengan memilih salah satu dari tiga jenis kaffarah berikut ini secara berurut sesuai kemampuannya:
  1. Membebaskan budak. Dalam hal ini, tidak ada perbedaaan antara budak kafir dan budak muslim menurut pendapat yang lebih kuat.
  2. Berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini tidak terputus dengan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang untuk berpuasa, yaitu hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq. Apabila berpuasa selama kurang dari dua bulan berturut-turut, ia belum dianggap membayar kaffarah.
  3. Memberi makan enam puluh orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan menurut kebiasaan ke­banyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud, yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.

Pembayaran Kaffarah Hanya dengan Tiga Jenis
Pembayaran kaffarah tidak sah kecuali dengan tiga jenis di atas.

Apakah Kaffarah Gugur bila Seseorang Tidak Mampu?
Apabila seseorang tidak mampu membayar dengan salah satu dari tiga bentuk di atas, kewajiban pembayaran kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mampu membayar kaffarah tersebut.
Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat pada kandungan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhâry dan Muslim,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ : وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ فِيْ رَمَضَانَ (وَأَنَا صَائِمٌ) قَالَ هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سَتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ لَا قَالَ ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمْرٌ فَقَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ أَفْقَرُ مِنَّا ؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Saya telah binasa, wahai Rasulullah.’ Beliau bertanya, ‘Hal apa yang membuatmu binasa?’ Ia berkata, ‘Saya telah menggauli (berhubungan intim dengan) istriku saat Ramadhan, [padahal sedang berpuasa] [1].’ Maka, beliau bertanya, ‘Apakah engkau mampu membebaskan budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Ia juga menjawab, ‘Tidak.’ Beliau kembali bertanya, ‘Apakah kamu mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab lagi, ‘Tidak,’ lalu ia pun duduk. Kemudian, satu ‘araq ‘tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat enam puluh mud,-pent.’ berisi kurma dibawakan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata kepadanya, ‘Bershadaqahlah engkau dengan ini.’ Ia berkata, ‘(Apakah kurma ini) diberikan kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Karena di antara dua bukit Madinah, tidak ada keluarga yang lebih fakir daripada kami.’ Maka, tertawalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam hingga gigi taring beliau tampak, kemudian berkata, ‘Pergi dan berilah makan kepada keluargamu dengan (kurma) tersebut.’.”

Beberapa Hukum dan Etika yang Berkaitan dengan Pembahasan

Tidak Ada Dua Shalat Witir dalam Semalam
Telah diketahui tentang keutamaan pelaksanaan shalat Tarawih bersama imam sampai selesai, walaupun pelaksanaan tersebut di awal malam. Juga diketahui bahwa dilarang mengerjakan shalat Witir sebanyak dua kali dalam semalam sebagaimana keterangan dalam hadits,

لَا وِتْرَانِ فِيْ لَيْلَةٍ
“Tidak ada dua (shalat) Witir dalam semalam.” [1]

Pelaksanaan Qiyamul Lail pada Akhir Malam Setelah Pelaksanaan Shalat Witir pada Awal Malam[2]
Bila ingin menambah shalat Lail pada akhir malam setelah mengerjakan shalat Tarawih dan Witir bersama imam pada awal malam, apa yang harus makmum lakukan?
Ada dua penyelesaian dalam hal ini:
Pertama, menggenapkan rakaat, yaitu, ketika imam bersalam pada akhir shalat Witirnya, makmum tidak ikut bersalam, tetapi berdiri untuk menambah satu rakaat sehingga shalat sang makmum menjadi genap. Sehingga, kalau ingin mengerjakan shalat Lail pada akhir malam, sang makmum tetap bisa mengerjakan shalat Witir. Dengan hal ini, seseorang tetap mendapatkan pahala shalat berjamaah bersama imam dan tetap bisa mengerjakan shalat pada akhir malam. Menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, ini adalah cara yang paling baik.
Kedua, makmum ikut mengerjakan shalat Witir bersama imam sampai selesai, dan ikut bersalam bersama imam. Kalau ingin bangun pada malam hari, ia boleh mengerjakan shalat lagi sebanyak dua rakaat-dua rakaat, berdasarkan keumuman hadits,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
Shalat malam (dikerjakan sebanyak) dua (rakaat)-dua (rakaat).” [3]
Akan tetapi, seseorang tidak boleh mengerjakan shalat Witir lagi agar tidak terjatuh ke dalam larangan pelaksanaan shalat Witir sebanyak dua kali dalam semalam.

Pembahasan Naqdhul Witr
Sebenarnya ada cara ketiga yang disebut dengan naqdhul witr, yaitu, setelah mengerjakan shalat Witir pada awal malam kemudian bangun untuk mengerjakan shalat pada akhir malam, seseorang memulai shalatnya dengan mengerjakan shalat satu rakaat dengan niat untuk menggenapkan rakaat shalat Witirnya (agar shalat Witir tersebut batal) yang telah ia lakukan pada awal malam. Namun, hal tersebut adalah lemah menurut pendapat jumhur ulama.[4]

Shalat Lail Berjamaah Sebanyak Dua Kali dalam Semalam (Pembahasan Ta’qib)[5]
Tidak disunnahkan, ta’qîb dalam shalat Tarawih, yaitu perbuatan sekelompok orang yang mengerjakan shalat Lail berjamaah pada awal malam, kemudian mengerjakan shalat berjamaah kembali pada akhir malam. Hal ini adalah perkara makruh menurut pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menguatkan pendapat ini. Namun, menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, kalau ta’qîb mereka lakukan setelah mengerjakan shalat Tarawih tanpa mengerjakan shalat Witir, hal itu bukanlah makruh. Sisi yang menunjukkan kekuatan simpulan ini tentunya bisa dipahami dari uraian-uraian yang telah berlalu.

Pelaksanaan Shalat Sunnah Antara Rakaat-Rakaat Tarawih
Adapun pelaksanaan shalat sunnah antara rakaat-rakaat shalat Tarawih saat istirahat, hal tersebut adalah perkara yang makruh karena tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatan hal tersebut.[6]

Pelaksanaan Shalat Witir di Atas Kendaraan[7]
Seseorang boleh mengerjakan shalat Witir di atas hewan tunggangan atau kendaraan menurut pendapat kebanyakan ulama berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa beliau berkata,

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُوْتِرُ عَلَى الْبَعِيْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Witir di atas unta.[8]

Pelaksanaan Shalat Witir pada Perjalanan
Shalat Witir juga tetap disunnahkan untuk dikerjakan, walaupun seseorang berada dalam safar/perjalanan, karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Witir dalam keadaan mukim dan safar. Banyak dalil yang menunjukkan tentang hal tersebut.[9]

Berdoa Ketika Istirahat pada Pelaksanaan Tarawih
Berdoa ketika istirahat pada pelaksanaan shalat Tarawih tidak disyariatkan, demikian pula tidak ada doa setelah shalat Tarawih.[10]

Niat yang Baik ketika Akan Tidur
Seseorang hendaknya berniat untuk bangun mengerjakan shalat malam ketika akan tidur sehingga niat tersebut bernilai kebaikan untuknya.
Telah sah dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ وَهُوَ يَنْوِى أَنْ يَقُومَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ حَتَّى أَصْبَحَ كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Barangsiapa yang mendatangi pembaringannya dengan niat untuk mengerjakan shalat pada malam hari, kemudian (rasa kantuk pada) kedua matanya lebih menguasainya (sampai dia tidak bangun) hingga waktu shubuh masuk, akan ditulis (sebagai amalan untuknya) amal sebagaimana hal yang telah dia niatkan, sementara tidurnya adalah sedekah dari Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.” [11]

Bersiwak Sebelum Mengerjakan Shalat Lail
Hal tersebut diterangkan dalam sejumlah hadits, di antaranya adalah hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ لِيَتَهَجَّدَ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
“Adalah Nabi, bila bangun untuk bertahajjud, menggosok mulutnya dengan siwak.” [12]

Shalat Malam bagi Orang yang Mengantuk
Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ meriwayatkan dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa Nabi bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mengantuk dalam shalat, hendaknya dia tidur hingga rasa kantuknya hilang, (karena) sesungguhnya, bila mengerjakan shalat dalam keadaan mengantuk, salah seorang dari kalian barangkali ingin beristighfar, tetapi (yang terjadi adalah) dia mencela dirinya.” [13]

Kontinu dalam Penegakan Shalat Malam
Seorang hamba hendaknya mengerjakan shalat malam dan membiasakan hal tersebut. Agar menjadi kebiasaan, shalat malamnya hendaknya dikerjakan sebanyak jumlah rakaat yang dia bisa kontinu dalam hal menjaganya.
Dalam hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
“Wahai sekalian manusia, hendaknya kalian melakukan amalan yang kalian sanggupi karena Allah tidak bosan hingga kalian sendiri yang bosan, dan sesungguhnya sebaik-baik amalan di sisi Allah adalah yang terus menerus dilakukan, walaupun sedikit.” [14]

Contoh Shalat Malam Terbaik
Dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Ash radhiyallâhu ‘anhumâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا ، وَأَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah puasa (Nabi) Dâud, yang beliau berpuasa sehari dan berbuka (yakni tidak berpuasa) sehari, serta shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat (Nabi) Dâud, yang beliau tidur pada seperdua malam, kemudian berdiri (untuk mengerjakan shalat) pada sepertiga (malam) itu, lalu tidur pada seperenam (malam) tersebut.” [15]


[1] Diriwayatkan oleh Ath-Thayâlisy no. 1095, Ahmad 4/23, Ibnu Abi Syaibah 2/84, Abu Dâud no. 1439, At-Tirmidzy no. 469, An-Nasâ`iy 3/229, Ath-Thahâwy 1/342, Ibnu Khuzaimah no. 1101, Ibnu Hibbân no. 2449, Ath-Thabarâny 8/no. 8247, dan Al-Baihaqy 3/36 dari Thalq bin Ali radhiyallâhu ‘anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam beberapa bukunya.
[2] Bacalah pembahasan hal ini dalam Al-Mughny 2/597-598, Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/88-89, dan Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ`il Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn 14/123-126.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 472, 473, 990, 993, 995, 1137, Muslim no. 749, Abu Dâud no. 1326, At-Tirmidzy no. 437, An-Nasâ`iy 3/227-228, 233, dan Ibnu Mâjah no. 1318-1320.
[4] Silakan membaca pembahasan hal di atas dalam Al-Istidzkâr 2/113-114, Fathul Bâry 6/250-257 karya Ibnu Rajab, Al-Mughny 2/597-598, Al-Inshâf 2/182, Al-Majmu’ 3/521, Tharhut Tatsrîb 3/81, dan Nailul Authâr 3/49.
[5] Bacalah pembahasan ta’qib dalam Al-Mughny 2/607-608, Fathul Bâry 6/258-259 karya Ibnu Rajab, Al-Inshaf 2/183, dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/91-93 karya Ibnu ‘Utsaimin.
[6] Bacalah Al-Mughny 2/607, Al-Inshaf 2/183, dan Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/90-91 karya Ibnu ‘Utsaimin.
[7] Silakan membaca pembahasannya dalam Al-Istidzkâr 2/111, Fathul Bâry 6/265-267 karya Ibnu Rajab, dan Bidâyatul Mujtahid 1/204.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 999, Muslim no. 700, dan An-Nasâ`iy 3/232.
[9] Bacalah Majmu’ Fatâwâ 23/98 karya Ibnu Taimiyah, Fathul Bâry 6/258-259 karya Ibnu Rajab, dan Al-Majmu’ 2/517.
[10] Bacalah Al-Inshâf 2/181 dan 182 karya Al-Mardâwy.
[11] Diriwayatkan oleh An-Nasâ`iy, Ibnu Majah, Al-Bazzar, Muhammad bin Nashr, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hâkim, Al-Baihaqy, dan selainnya dari hadits Abu Darda` radhiyallâhu ‘anhu. Hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, yang dikeluarkan oleh An-Nasâ`iy, Al-Baihaqy, dan selainnya, juga semakna dengannya. Berdasarkan jalur-jalur tersebut, hadits di atas dikuatkan oleh Al-Albâny dalam Irwa`ul Ghalil no. 454.
[12] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.
[13] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, At-Tirmidzy, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.
[14] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, dan An-Nasâ`iy.
[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, Abu Dâud, An-Nasâ`iy, dan Ibnu Majah.

Sabtu, 14 Juli 2012

6 Makanan yang Memutihkan Gigi

Semua pasti ingin memiliki gigi putih cemerlang, namun tak semua punya uang untuk memutihkan gigi di dokter atau dengan cairan pemutih gigi yang mengandung efek samping. Padahal gigi putih bersinar juga bisa didapatkan dengan mengonsumi lima makanan berikut ini.

1. Stroberi
Buah cantik ini memproduksi enzim malic acid yang membantu memutihkan gigi. Selain dengan langsung memakannya, stroberi bisa dimanfaatkan untuk memutihkan gigi dengan cara dihaluskan, digosokkan ke gigi, diamkan selama lima menit lalu bilas dan gosok gigi seperti biasa.

2. Buah-buahan dan sayuran yang renyah
Contoh terbaik adalah apel, seledri, dan wortel. Menggigit dan mengunyah buah dan sayuran seperti ini akan membantu membersihkan plak, "menggosok" gigi agar lebih putih bersinar, dan meningkatkan produksi air liur yang baik bagi kesehatan mulut.

3. Keju
Keju dan bahan olahan susu lainnya seperti yoghurt mengandung lactic acid yang berfungsi melindungi gigi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang mengonsumsi yoghurt empat kali seminggu lebih terlindung dari pembusukan gigi dibanding anak-anak yang tak minum yoghurt. Sedangkan untuk memutihkan gigi, keju adalah pilihan yang baik karena selain melindungi gigi dari kebusukan, keju juga mengandung kalsium dan fosfor yang berguna dalam pembentukan enamel gigi.

4. Jeruk dan nanas
Saat mengonsumsi jeruk, nanas, dan buah-buahan asam lainnya, mulut memproduksi air liur lebih banyak, yang membantu membersihkan gigi secara alami.

5. Baking soda
Sebuah penelitian tahun 2008 menemukan bahwa pasta gigi yang mengandung baking soda berfungsi lebih baik dalam membersihkan plak. Anda bisa saja menggunakan baking soda langsung untuk membersihkan gigi, namun para dokter menyarankan agar hal ini tak dilakukan terlalu sering karena bisa mengikis enamel gigi. Pilihan paling aman adalah menggunakan pasta gigi yang mengandung baking soda.

6. Permen karet yang mengandung xylitol
Xylitol adalah pemanis alami yang dapat mencegah plak. Xylitol juga menetralkan tingkat keasaman di dalam mulut dan meningkatkan produksi air liur untuk membersihkan gigi.

Tanya: Saya baru saja menikah dan ingin sekali membuka usaha sampingan, tapi bingung memulainya karena terbentur modal. Adakah usaha yang bisa dibangun dengan modal nol rupiah atau sangat minim? Ardhy, 23 tahun Jawab: Hi Ardhy! Di mana ada kemauan, tentu ada jalannya. Saat ini banyak sekali bisnis atau start-up dengan modal yang minim. Misalnya membuka toko/perusahaan jasa online dan diiklankan melalui social media atau Ardhy bisa merubah hobby menjadi usaha. Misalnya, jika hobby jalan-jalan bisa menulis artikel tentang tempat-tempat yang sudah dikunjungi atau jika punya keahlian tertentu bisa dicoba untuk mengajar atau mencari pekerjaan lepas waktu. Lama-kelamaan, kegiatan sampingan ini bisa dijadikan bisnis dan kemudian bisa menjadi aset aktif untuk menambah penghasilan. Nothing great comes easily, jadi semangat ya untuk memulai usahanya ;)

Ahli gizi Yahoo!, Rachael Anne Hills, mengidentifikasi empat makanan sehat kaya nutrisi yang harusnya kita makan tetapi sering lupa dilakukan.

Quinoa
Meskipun sering disebut gandum, quinoa (dieja keen-wah) sebenarnya adalah biji-bijian. Banyak tersedia di toko kesehatan dan supermarket, quinoa dapat dimasak dan dimakan dengan cara yang sama seperti beras. Makanan ini mengandung semua asam amino esensial (asam amino yang tidak dapat dibuat oleh tubuh Anda), sehingga bisa menjadi sumber protein yang lengkap untuk vegan dan vegetarian.

Quinoa rendah lemak namun kaya serat penurun kolesterol dan merupakan sumber vitamin B yang dibutuhkan untuk perbaikan sel-sel tubuh dan metabolisme yang efisien. Quinoa mengandung zat besi (mineral yang dibutuhkan wanita) yang memberikan energi, kalsium untuk tulang yang kuat dan kalium, yang dapat membantu untuk mengurangi tekanan darah tinggi.

Makanan ini juga merupakan sumber magnesium, yang dapat mengurangi frekuensi sakit kepala dengan membantu merelaksasi pembuluh yang memasok darah ke otak. Singkatnya, quinoa adalah makanan sehat dan dapat dipergunakan untuk diet Anda sebagai pilihan yang cerdas dan lezat.

Minyak rapa
Minyak rapa pemerasan mekanik (pemerasan mekanik berarti minyak diekstraksi secara alami dari tanaman menggunakan suhu ruangan tanpa penambahan bahan kimia apapun) memiliki tingkat omega-3, 6 dan 9 seimbang. Ketiganya membentuk asam lemak esensial yang penting untuk menurunkan kolesterol, mengurangi peradangan yang dapat menyebabkan penyakit jantung dan penuaan dini, meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan gizi bagi kulit, rambut, tulang dan sendi.

Rapa juga memiliki setengah lemak jenuh dan sepuluh kali omega-3 dari yang ada di minyak zaitun dan merupakan sumber vitamin E yang sangat baik untuk kulit. Campurkan minyak rapa dengan salad, nasi atau hidangan pasta atau campurkan dengan balsamic vinegar, bawang putih dan sedikit madu untuk saus salad yang lezat.

Kepiting

Kepiting dapat membuat Anda ramping karena rendah kalori (kepiting empat ons hanya memiliki 98 kalori), rasanya lezat dan memiliki lemak di bawah dua gram per porsi, baik juga untuk jantung.

Meskipun memiliki kandungan kalori yang rendah, kepiting adalah sumber protein yang mengenyangkan dan lezat. Kepiting juga merupakan sumber yang baik dari omega-3 yang membantu menurunkan trigliserida (jenis lemak yang dapat ditemukan dalam darah dan merupakan hasil uraian tubuh pada makanan yang mengandung lemak dan kolesterol) dan tekanan darah serta mengurangi risiko penyakit jantung.

Omega-3 juga dianggap dapat mengurangi peradangan, meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan bahkan menurunkan risiko terhadap beberapa jenis kanker. Cobalah topping salad dengan campuran daging kepiting segar atau sebagai alternatif menambahkan daging kepiting kalengan untuk kue ikan atau pie ikan.

Lobak

Sayuran berukuran kecil ini mengandung nutrisi yang disebut glucosinolate (senyawa yang menyebabkan rasa pahit, pedas, yang bersifat sebagai antikanker), yang juga terdapat dalam brokoli dan kubis. Glucosinolate membantu meningkatkan enzim detoksifikasi dalam hati, memiliki sifat antikanker dan membantu pencernaan. Lobak hanya mengandung satu kalori dan memiliki banyak serat sehingga mereka bagus untuk mengecilkan pinggang.

Dengan memakan 10 lobak, Anda  akan mendapatkan 25 persen vitamin C harian dan daun lobak, yang dapat dimakan, mengandung enam kali lebih banyak vitamin C. Tambahkan lobak pada salad musim panas untuk menambahkan rasa pedas tambahan atau menambahkan mereka ke hummus (makanan khas Timur Tengah) dan tzatziki.

Memulai Usaha dengan Modal Minim

Tanya:
Saya baru saja menikah dan ingin sekali membuka usaha sampingan, tapi bingung memulainya karena terbentur modal. Adakah usaha yang bisa dibangun dengan modal nol rupiah atau sangat minim?
Ardhy, 23 tahun


Jawab:
Hi Ardhy!

Di mana ada kemauan, tentu ada jalannya. Saat ini banyak sekali bisnis atau start-up dengan modal yang minim. Misalnya membuka toko/perusahaan jasa online dan diiklankan melalui social media atau Ardhy bisa merubah hobby menjadi usaha. Misalnya, jika hobby jalan-jalan bisa menulis artikel tentang tempat-tempat yang sudah dikunjungi atau jika punya keahlian tertentu bisa dicoba untuk mengajar atau mencari pekerjaan lepas waktu. Lama-kelamaan, kegiatan sampingan ini bisa dijadikan bisnis dan kemudian bisa menjadi aset aktif untuk menambah penghasilan. Nothing great comes easily, jadi semangat ya untuk memulai usahanya ;)

Black, Miliarder AS Pembeli Lukisan 'The Scream' Rp1,13 T

New York (AFP/ANTARA) - Miliarder AS, Leon Black, adalah pembeli misteri yang memecahkan rekor 119,9 juta dolar Amerika (sekitar Rp1,13 triliun) dalam lelang ‘The Scream’ karya Edvard Munch pada Mei, Wall Street Journal melaporkan Rabu.

Lukisan, salah satu yang paling dikenal dalam sejarah dan satu-satunya lukisan yang dimiliki secara pribadi oleh Munch, dijual di Sotheby di New York dalam penjualan dramatis 12-menit – dengan pembeli tidak dikenal.

Wall Street Journal mengatakan dari "beberapa orang dekat" dengan Black bahwa kolektor seni terkenal tersebut telah membeli lukisan itu. Harga 119,9 juta dolar Amerika merupakan harga tertinggi yang pernah ada untuk sebuah karya seni dalam pelelangan publik.

Juru bicara Black menolak untuk mengonfirmasi atau menyangkal laporan itu, mengatakan kepada AFP pada Rabu: "Kami tidak akan mengomentari kabar di Wall Street Journal."

Leon Black, 60 tahun warga New York, adalah pendiri dan partner senior dari Apollo Global Management, sebuah investasi dana. Kekayaannya diperkirakan bernilai 3,4 miliar dolar Amerika (sekitar Rp32,16 triliun), menurut majalah Forbes.

Lukisan tahun 1895 adalah salah satu karya lukisan dari empat lukisan yang diciptakan Munch. Lukisan yang menyeramkan dengan warna yang berputar-putar melambangkan kecemasan eksistensial dan putus asa dari era modern.

Versi lain dari "The Scream" adalah milik National Gallery of Munch Norwegia, sedangkan dua sisanya adalah milik Munch Museum di Oslo.(ia/ml)

Rabu, 16 Mei 2012

Cara Praktis Merawat Rumah

Tanpa perlu memanggil ahli, beberapa perbaikan simpel dapat Anda lakukan di rumah saat akhir pekan. Tips merawat rumah ini tidak akan memakan waktu banyak sehingga akhir pekan Anda tidak terganggu.
Pintu Berderit
Cari pelumas WD-40, semprotkan ke engsel yang berderit. Setelah itu, berulang kali buka dan tutup pintu agar pelumas teroles merata ke engsel. Kalau masih bunyi, angkat pin di engsel, lalu minyaki.
Wallpaper Terkelupas
Kuaskan lem pada selembar kertas lalu tempelkan pada bagian wallpaper yang mengelupas. Tempelkan wallpaper ke tembok dan tarik kertas secara perlahan. Bersihkan dengan lap.
Lampu Gantung Berdebu
Kenakan sarung tangan. Pada salah satu sarung tangan, semprotkan pembersih gelas. Sarung tangan lainnya dibiarkan kering. Lap lampu dengan sarung tangan berpembersih gelas, kemudian lap lagi dengan sarung tangan kering.
Noda Wastafel
Campurkan krim tartar, soda kue, dan cairan lemon. Usapkan pasta yang dihasilkan ke bagian yang kotor menggunakan lap. Biarkan selama setengah jam, kemudian bilas dengan air.
Bohlam Sulit Dilepas
Potong plester kuat sepanjang kurang lebih 30 sentimeter. Tempelkan plester tersebut pada bohlam. Lipat kedua ujung plester sehingga menempel. Putar untuk melepas bohlam.
Bantal Sofa Kempes
Jemur bantal sofa yang kempes selama beberapa jam di bawah matahari. Jangan terlalu lama agar warnanya tidak rusak. Matahari akan membantu menghilangkan kelembapan dan membuat bantal mengembang kembali.
Botol Kotor
Tuang air panas hingga botol terisi separuhnya. Masukkan beberapa tetes sabun cuci piring, dua sendok makan cuka, serta segenggam beras. Aduk untuk beberapa menit setelah itu bilas dengan air panas sebelum dikeringkan.

Template by:

Free Blog Templates