Kamis, 26 April 2012

Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam

Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam) karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu qurbah (mendekatkan diri pada Allah).
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja. Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar karena disertai ‘uluwwul himmah (semangat yang kuat dalam belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.
Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” “Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah. Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun. Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia 30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama 40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin (agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat ‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’ karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90 tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan, bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah. Wabillahit taufiq.

Referensi:
‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj, Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.

Senin, 23 April 2012

Jangan Tertipu Dengan Orang Yang ‘Memperjuangkan’ Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga akhir zaman.
Seringkali kita mendengar seruan saudara kita untuk berjihad, untuk membela Islam melalui parlemen, atau membela Islam melalui penegakan khilafah. Mereka betul-betul semangat dalam hal ini. Namun janganlah tertipu. Tidaklah semua yang mengaku membela dan memperjuangkan Islam itu benar dan menempuh jalan yang benar. Barangkali mereka adalah orang-orang yang fajir dan bermaksiat pada Allah dengan perjuangan mereka. Barangkali jalan yang mereka tempuh itu keliru.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
Sesungguhnya tidak akan masuk surga orang kecuali jiwa yang muslim. Namun boleh jadi Allah akan memperjuangkan agama ini melalui orang yang fajir (bermaksiat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas adalah cuplikan dari sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan pada orang yang mengaku Islam, “Dia termasuk penduduk neraka.” Ketika mengikuti peperangan, orang tersebut begitu semangat. Namun ia terkena luka parah. Kemudian ada yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang engkau katakan bahwa ia termasuk penduduk neraka, ia benar-benar hari itu telah berperang lalu ia mati.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Ia penghuni neraka.” Sebagian orang pun terheran-heran dan tetap dalam keadaan seperti itu. Ternyata, ada yang menceritakan bahwa orang tersebut sebelum mati, ia memiliki luka yang cukup parah. Ketika di malam hari, ia tidak sabar menahan lukanya yang parah tersebut. Lalu ia pun membunuh dirinya sendiri. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabarkan tentang hal ini. Kemudian beliau pun bersabda,
اللَّهُ أَكْبَرُ ، أَشْهَدُ أَنِّى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Allahu akbar. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau pun memerintahkan Bilal dan beliau menyeru pada manusia,
إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim. Namun boleh jadi Allah akan memperjuangkan agama ini melalui orang yang fajir (bermaksiat).1
Faedah dari hadits di atas:
Pertama: Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Allah akan menolong agama ini, walaupun melalui orang yang fajir (bermaksiat).
Kedua: An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Peringatan keras terhadap haramnya bunuh diri. Ingatlah bahwa seseorang yang membunuh dirinya sendiri akan disiksa di neraka dengan cara ia melakukan bunuh diri. Dan tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim.
Ketiga: Orang muslim pasti masuk surga. Namun boleh jadi dia masuk surga langsung. Dan boleh jadi ia masuk surga dengan terlebih dahulu mampir di neraka.2
Keempat: Bunuh diri termasuk dosa besar karena diancam neraka. Namun pelakunya tidaklah keluar dari Islam -selama tidak melakukan pembatal keislaman yang lain- karena ia masih disebut mukmin sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا , وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamuDan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS. An Nisa’: 29-30)
Kelima: Orang yang bunuh diri akan disiksa sebagaimana cara ia melakukan bunuh diri. Hal ini disebutkan dalam hadits lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَىْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan suatu cara yang ada di dunia, niscaya kelak pada hari kiamat Allah akan menyiksanya dengan cara seperti itu pula.3
Contohnya adalah orang yang mati bunuh diri karena mencekik lehernya sendiri atau mati karena menusuk dirinya dengan benda tajam.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الَّذِى يَخْنُقُ نَفْسَهُ يَخْنُقُهَا فِى النَّارِ ، وَالَّذِى يَطْعُنُهَا يَطْعُنُهَا فِى النَّارِ
Barangsiapa yang membunuh dirinya sendiri dengan mencekik lehernya, maka ia akan mencekik lehernya pula di neraka. Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara menusuk dirinya dengan benda tajam, maka di neraka dia akan menusuk dirinya pula dengan cara itu.4
Keenam: Jangan tertipu dengan orang-orang yang memperjuangkan atau membela Islam, sampai kita ketahui bahwa mereka benar-benar berpegang teguh pada sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).5 Jadi semata-mata membela Islam dan membuat Islam semakin jaya belum tentu orang tersebut dikatakan berada di atas kebenaran sampai kita tahu bahwa ia memegang ajaran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah orang yang bunuh diri yang disebutkan dalam hadits di atas. Dia memperjuangkan Islam dengan berjihad di jalan Allah, namun ia pun berbuat maksiat dengan bunuh diri.
Ketujuh: Memperjuangkan Islam semata-mata bukan dengan modal semangat, namun haruslah menempuh jalan yang benar sebagaimana yang ditempuh para salaf yang sholih.
Kedelapan: Penghafal al Qur’an boleh jadi ada yang fajir (berbuat maksiat). Begitu pula orang yang berjihad bisa saja orang fajir. Namun kesholihan mereka bukan berarti membenarkan kemaksiatan yang mereka lakukan.6
Demikian sedikit faedah yang bisa kami ambil dari hadits di atas sesuai keterbatasan ilmu kami. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Fawaaid Hadits Ke-2 Kitab Umdhatul Ahkam

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima shalat salah seorang diantara kalian jika dia berhadats sampai dia wudhu.” (HR. Bukhari : 6954 dan Muslim : 225).
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa fawaaid, diantaranya:
Pertama : Sesungguhnya ada shalat yang diterima dan ditolak. Jika ia sesuai dengan syariat maka diterima namun jika tidak sesuai maka tertolak. Demikian pula semua ibadah yang lain, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut raddun.” yaitu marduud/tertolak.
Kedua : Semua shalat baik yang fardhu maupun yang nafilah sampai shalat jenazah sekalipun tidak akan diterima jika dikerjakan dalam keadaan berhadats, meskipun dia dalam keadaan lupa sampai dia berwudhu. Demikian pula orang yang sedang junub jika dia shalat sebelum mandi.
Ketiga : Shalat orang yang berhadats hukumnya haram sampai dia berwudhu, karena Allah tidak menerimanya. Mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diterima berarti merupakan pertentangan dan termasuk jenis mengolok-olok agama (istihzaa).
Keempat : Sesungguhnya jika seseorang sudah berwudhu untuk shalat, kemudian datang waktu shalat berikutnya dan dia tetap dalam keadaan suci maka tidak wajib baginya wudhu lagi.
Kelima : Agungnya kedudukan shalat dimana Allah tidak akan menerimanya kecuali dalam keadaan suci.

Minggu, 22 April 2012

welcome to this blog

Template by:

Free Blog Templates