Definisi Qunut
Secara etimologi, qunut bermakna banyak. Ada lebih dari sepuluh makna
sebagaimana nukilan Al-Hâfizh Ibnu Hajar, dari Al-Iraqy, dan Ibnul
Araby.
Makna-makna tersebut adalah: 1) Doa, 2) Khusyu’, 3) Ibadah, 4) Taat,
5) Pelaksanaan ketaatan, 6) Penetapan ibadah kepada Allah, 7) Diam, Shalat, 9) Berdiri, 10) Lama berdiri, dan 11) Kontinu dalam ketaatan.[1]
Adapun secara terminologi, qunut bermakna seperti yang disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajr Al-Asqalâny rahimahullâh, “Doa dalam shalat pada tempat khusus dalam keadaan berdiri.”[2]
Makna secara terminologi inilah yang diinginkan oleh para ulama fiqih dan kebanyakan ulama lain dalam buku-buku mereka.[3]
Syariat Qunut
Syariat tentang qunut dalam shalat Witir telah sah sebagaimana dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
Dibangun di atas hadits ini, orang-orang Hanafiyah, Hanbaliyah, dan sebagian orang-orang Syâfi’iyah berpendapat akan kesunnahan qunut Witir pada bulan Ramadhan dan selain Ramadhan. Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Hasan, Ibrâhim An-Nakha’iy, dan Ishâq.
Adapun Imam Malik, beliau tidak berpendapat tentang keberadaan qunut Witir.
Adapun Imam Asy-Syâfi’iy, beliau berpendapat bahwa qunut Witir disyariatkan pada pertengahan Ramadhan.
Tarjih
Tentunya bahwa tidak diragukan lagi akan kesunnahan qunut Witir berdasarkan hadits Al-Hasan bin ‘Ali tersebut sehingga tidak ada alasan bagi orang yang melarang pelaksanaannya. Adapun pelaksanaan qunut Witir dari pertengahan Ramadhan, hal tersebut hanyalah diriwayatkan dalam hadits yang lemah. Wallâhu A’lam.[5]
Waktu Pelaksanaan Qunut saat Shalat[6]
Qunut dapat dilaksanakan sebelum atau setelah ruku’. Akan tetapi, pelaksanaannya setelah ruku’ lebih banyak dilakukan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Al-Imam Al-Baihaqy rahimahullâh berkata, “Rawi-rawi, (dalam) hadits yang berisi penjelasan tentang qunut setelah ruku’, lebih banyak dan hafalannya lebih bisa dipegang. Oleh karena itu, riwayat mereka yang lebih pantas dipakai. Demikian pula, (hadits tentang) pelaksanaan qunut pada zaman Khulafâ` Ar-Râsyidîn radhiyallâhu ‘anhum, yang terdapat pada riwayat-riwayat masyhur dari mereka dan riwayat-riwayat ini, jumlahnya paling banyak.”[7]
Adapun pelaksanaan qunut sebelum ruku’, dalilnya diterangkan dalam beberapa hadits, yang di antaranya adalah hadits Anas bin Mâlik bahwa beliau berkata,
Juga hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa ada keleluasaan dalam hal ini. Barangsiapa yang ingin berqunut sebelum ruku’, hal itu adalah perkara yang boleh, dan barangsiapa yang ingin berqunut setelah ruku’, tidak ada dosa apapun atasnya.
Pendapat tentang kebolehan memilih salah satu dari dua cara berqunut juga diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Anas bin Malik, Imam Ayyub As-Sikhtiyany, dan Imam Ahmad. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albâny, dalam Qiyâm Ramadhân hal. 31, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/64-65, dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun ahli fiqih dari kalangan ahli hadits, seperti Ahmad dan selainnya, membolehkan kedua perkara (tentang cara berqunut), karena sunnah yang shahih datang untuk menjelaskan keduanya, walaupun mereka memilih qunut setelah (ruku’) karena lebih banyaknya (dalil tentang hal tersebut,-pent) dan lebih (mendekati) qiyas ….”[10]
Tentang Mengangkat Tangan Ketika Berqunut
Yang lebih kuat di antara pendapat para ulama dalam pembahasan ini adalah bahwa tidak ada pensyariatan tentang mengangkat tangan dalam qunut. Ini merupakan pendapat Yazîd bin Abi Maryam, Imam Al-Auzâ’iy, Abu Hanîfah, dan Imam Mâlik.[11]
Pendapat ini dikuatkan karena tidak ada hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berqunut.
Adapun dalil yang dipakai oleh para ulama, yang berpendapat tentang pensyariatan hal mengangkat tangan dalam qunut, adalah hadits-hadits yang lemah. Dalil mereka yang paling kuat adalah hadits yang diriwayatkan dari jalur Sulaimân bin Al-Mughîrah, dari Tsâbit Al-Bunâny, dari Anas bin Mâlik, tentang kisah para pembaca Al-Qur`ân yang terbunuh. Disebutkan bahwa Anas berkata kepada Tsâbit,
Namun, hadits ini lemah karena terdapat dua cacat di dalamnya:
- Sulaiman bin Mughirah. Beliau adalah seorang rawi yang tsîqah, tetapi beliau telah menyelisihi Hammâd bin Salamah yang meriwayatkan hadits ini dari Tsâbit, dari Anas, dan, dalam riwayatnya, Hammad tidak menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya.[13] Hammad bin Salamah ini adalah rawi yang paling kuat riwayat haditsnya dari Tsâbit sebagaimana perkataan Imam Yahyâ bin Ma’in, Abu Hâtim, dan selainnya, “Siapa saja yang menyelisihi Hammâd dalam periwayatan hadits dari Tsâbit, yang didahulukan adalah periwayatan Hammâd.” Bahkan, dalam At-Tamyîz, Imam Muslim menukil kesepakatan ahli ‘ilalul hadits (pakar cacat-cacat hadits) bahwa Hammâd adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit.[14]
- Murid-murid Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, seperti Qatâdah, Muhammad bin Sîrîn, ‘Abdul ‘Azîz bin Shuhaib, Abu Qilâbah, Ishâq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, Abu Mijlaz, ‘Âshim, Musâ bin Anas, Humaid At-Thawîl, Dâud bin Abi Hind, Hanzhalah bin ‘Abdillah, Abu Makhlad, Marwân Al-Ashfar, dan Ibnu Muhâjir, semuanya meriwayatkan hadits yang semakna dari Anas bin Mâlik tentang pelaksanaan qunut, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut.[15] Seluruh hal ini mempertegas kesalahan Sulaimân bin Al-Mughîrah dalam periwayatannya yang menyebutkan bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika qunut. Syaikhunâ Muqbil bin Hadi rahimahullâh juga termasuk ulama yang melemahkan hadits ini. Wallâhu A’lam.
Tentang Mengaminkan Doa Qunut bagi Makmum
Syariat akan hal ini telah tetap dalam hadits Ibnu ‘Abbâs. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Qudâmah dalam ucapannya, “Apabila imam berqunut, (doa qunutnya) hendaknya diaminkan oleh orang yang (bermakmum) di belakang imam, dan kami tidak mengetahui bahwa ada perbedaan pendapat dalam pembahasan ini.”[16]
Kesalahan dalam Hal Mengaminkan
Akan tetapi, perlu diingat bahwa pengaminan hanyalah diucapkan pada lafazh-lafazh doa, bukan pada lafazh pujian. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan dibenarkan oleh Imam Al-Hiraqy dan An-Nawawy.[17]
Berdasarkan keterangan ini, tampaklah kesalahan yang sering terjadi di tengah masyarakat umum yang mengaminkan seluruh doa qunut hingga lafazh-lafazh pujian dalam qunut.
Yang dimaksud dengan lafazh-lafazh doa ialah bermula dari kalimat اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ (allâhummah dinâ fî man hadait) hingga وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ (wa qinâ syarra mâ qadhait), sedangkan kalimat setelahفَإِنَّكَ تَقْضِيْ (fainnaka taqdhî) dan seterusnya adalah lafazh-lafazh pujian.
Etika Imam dalam Doa Qunut
Hendaknya pula imam berdoa dengan lafazh umum (bukan untuk pribadinya) sehingga, ketika mengaminkan doa imam, makmum juga mengambil andil dari doa tersebut. Hal ini ditegaskan demikian karena dua perkara:
Pertama, firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimâs salam,
Kalau memperhatikan ayat sebelumnya, kita akan mengetahui bahwa ternyata yang berdoa hanyalah Nabi Musa ,
Bersamaan dengan ini, Allah menjadikan doa itu untuk mereka berdua. Hal ini karena Nabi Musa berdoa, sementara Nabi Harun mendengarkan dan mengaminkan doa tersebut.[18]
Kedua, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Yang tampak bagi saya bahwa hikmah pelaksanaan doa qunut pada saat i’tidâl, bukan pada saat sujud, padahal sujud merupakan momen pengabulan doa sebagaimana (keterangan) yang telah pasti (dari Rabb-nya ketika seseorang sujud) juga (padahal) kebenaran perintah untuk berdoa dalam sujud telah pasti, adalah bahwa yang diinginkan dari qunut nazilah ini adalah agar makmum berserikat bersama imam dalam doa, walaupun hanya mengaminkan.”[19]
Tentang Mengusap Wajah Setelah Berqunut
Imam Abu Dâud berkata, “Saya mendengar Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya (sendiri) dengan kedua tangannya (sendiri) bila selesai berqunut, maka beliau menjawab, ‘Saya tidak mendengar tentang itu.’ Pada kesempatan lain, beliau juga berkata, ‘Saya tidak mendengar suatu (riwayat) apapun tentang hal tersebut.’.” Kemudian, (Abu Dâud) berkata, “Dan saya tidak melihat Ahmad mengerjakan hal itu.”[20]
Imam Malik ditanya tentang seseorang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya sendiri ketika berdoa, maka beliau mengingkari perbuatan tersebut sembari berkata, “Saya tidak mengetahui hal itu.”[21]
Imam Al-Baihaqy berkata, “Adapun tentang mengusap kedua tangan ke wajah selepas doa, tidaklah saya menghafal (hal tersebut) dari seorang pun, dari para ulama salaf, pada doa qunut.”[22]
Demikian pula simpulan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ 4/53-56. Baca jugalah Irwâ`ul Ghalîl 2/178-181.
0 komentar:
Posting Komentar